Rabu, 21 April 2010

Menunggu atau Menyongsong Cahaya

Belajar itu jangankan kepada firman-firman, jangankan kepada agama yang macam-macam. Dari maling kita bisa belajar. Dari “tlethong” sapi kita bisa belajar. Dari yang terburuk di kehidupan ini bisa belajar.

Pada pelacur kita juga bisa belajar, bagaimana dia bisa menerima tujuh orang tamu pada suatu malam, selesai jam tiga malam dia langsung mandi jinabat, sholat tahajjud.

Itu suatu radikalitas kejiwaan yang luar biasa.

Sebab hidup ini adalah malam hari. Sehingga pekerjaan manusia hanya satu di tengah malam yang gelap gulita. Pekerjaan kita hanyalah mencari cahaya dari hari ke hari.
Engkau tidak tahu besok pagi akan mengalami apa, tidak tahu tanggal berapa akan meninggal. Kita tidak tahu akan punya anak berapa, yang jadi dan tidak jadi.

Cahaya adalah jembatan dari tidak tahu menjadi tahu. Cahaya adalah jarak dari sedih menjadi gembira. Dari belum menjadi sudah, dari gagal menjadi sukses. Dari sakit menjadi sembuh.

Tapi cahaya itu ada dua macam. Cahaya yang menerangi dan cahaya yang menyesatkan.
Kalau cahaya terlalu menyilaukanmu, kamu akan kehilangan disiplin jarak, kalau dalam ilmu disebut kehilangan ontologi. Kalau kamu ingin melihat tangan kamu sendiri, kamu tidak bisa melihat tangan kamu sendiri terlalu dekat, kamu harus punya disiplin jarak. Sehingga jarak tertentu, tangan kamu kelihatan secara tepat.
(Manusia Sunyi, Cak Nun)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar