Sabtu, 18 September 2010

#2 Part of Jaman Wis Akhir Repertoar

Kalau yang sunyi engkau anggap tiada
Maka bersiaplah terbangun mendadak dari tidurmu oleh ledakannya
Kalau yang diam engkau remehkan
Bikinlah perahu agar di dalam banjir nanti engkau tidak tenggelam
Kalau yang tidak terlihat oleh pendanganmu engkau tiadakan
Bersiaplah jatuh tertabrak olehnya
Dan kalau yang kecil engkau sepelekan
Bersiaplah menikmati kekerdilanmu di genggaman kebesarannya

Kalau memang yang engkau pilih bukan kearifan untuk berbagi
Melainkan nafsu untuk menang sendiri
Maka terimalah kehancuran bagi yang kalah
Dan terimalah kehinaan bagi yang menang
Kalau yang mengendalikan langkahmu adalah rasa senang dan tidak senang
Dan bukannya pandangan yang jujur terhadap kebenaran
Maka buanglah mereka yang engkau benci
Dan bersiaplah engkau sendiri akan memasuki jurang

Minggu, 08 Agustus 2010

#1 Part of Jaman Wis Akhir Repertoar

Kalau memang yang bisa engkau pahami hanyalah kemauan, kepentingan dan nafsumu sendiri
Dan bukannya kerendahan hati untuk merundingkan titik temu kebersamaan
Maka siapkan kekebalan dari benturan-benturan dan luka untuk kemudian orang lain menggali tanah untuk menguburmu

Kalau memang engkau bermaksud menyulap sejarah dan mengubah zaman dalam sekedipan mata
Dan bukannya bersabar menggembalakan irama dan proses
Maka nantikan darah akan muncrat membasahi tanah airmu
Kemudian engkau sendiri akan terjerembab, terjatuh di terjalan-terjalan ketidakberdayaan
Kalau memang sesembahanmu adalah kenikmatan di dalam membenci
Adalah mabuk di dalam teriakan caci maki atau keasyikan di dalam kecurangan-kecurangan
Maka ambil pedangmu angkat tinggi-tinggi
Dan mulailah menabung kerelaan untuk engkau sendiri
Mati

Kalau engkau menyangka bahwa benarnya pendapatmu sendiri itulah kebenaran
Maka apa boleh buat aku mendaftarkan diri untuk melawanmu
Dan kalau engkau mengira benarnya orang banyak adalah segala-galanya
Di mana langit mimpi-mimpi bisa engkau raih dengan itu
Maka jangan sekali-kali menghalangiku untuk mengedari langit
Kan ku petik kebenaran yang sejati
Untuk aku taburkan ke bumi tanpa bisa engkau halangi

Dan kalau memang bagimu kehidupan adalah perjuangan untuk berkuasa
Dan mengalahkan saudara-saudaramu sendiri
Kalau engkau mengira kehidupan adalah untuk saling mengincar
Untuk menikam dari belakang
Atau untuk mengganti monopoli dengan monopoli baru
Menggusur hegemoni dengan hegemoni baru
Serta mengusir macan untuk engkau macani sendiri
Maka apakah itu usulanmu agar kita mempercepat keputusan untuk saling memusnahkan

Jumat, 30 April 2010

Kemana Anak-anak Itu

Kemana anak-anak kita itu
Kemana anak-anak yang dilahirkan oleh seluruh bangsa ini dengan keringat,
dengan luka, dengan darah dan kematian
Anak-anak yang dilahirkan oleh sejarah
Dengan airmata tiga setengah abad
Kemana anak-anak itu
Siapa yang berani-berani menyembunyikan mereka
Siapa yang menculik mereka
Siapa yang mencuri dan membuang mereka
Anak-anak yang bernama kemerdekaan
Yang bernama hak makhluk hidup dan harkat kemanusiaan
Yang bernama cinta kasih sesama
Yang bernama adilnya kesejahteraan
Yang bernama keterbukaan dan kelapangan
Kemana
Aku melihat anak-anak itu lari tunggang langgang
Anak-anak itu diserbu oleh rasa takut yang mencekam
Aku melihat anak-anak itu bertiarap di bawah semak-semak jaman
Anak-anak itu ngumpet di balik kegelapan

Kematian bukanlah tragedi
Kecuali kita mencuri dari tuhan hak untuk menentukannya
Kematian tidak untuk ditangisi
Tapi apa yang menyebabkan kematian, itulah yang harus diteliti

Nyawa badan, nyawa rohani, nyawa kesadaran
Nyawa pikiran, nyawa hak untuk tentram, nyawa kewajiban untuk berbagi kesejahteraan
Nyawa amanat untuk merawat keadilan
Nyawa, nyawa , nyawa, nyawa itu dihembuskan oleh tuhan, dielus-elus dan disayang-sayang
Bahkan nyawa setiap ekor coro
Bahkan nyawa cacing yang menggeliat-geliat
Dijaga oleh tuhan dalam tata kosmos keseimbangan

Tuhan sangat bersungguh-sungguh dalam mengurusi setiap tetes embun yang ia tampung di sehelai daun
Tuhan menyayangi dengan sepenuh hati setiap titik debu yang menempati persemayamannya di tengah ruang
Tapi kita iseng sesama manusia
Kita tidak serius terhadap nilai-nilai
Bahkan terhadap tuhan pun kita bersikap setengah hati

Masyaalloh
Apa sih yang nancap di ubun-ubun kesadaran kita ini
Di akal kepala kita ini
Di dada kita ini
Sehingga sedemikian rajin kita tanam dendam dan kekerasan
Bukannya kelembutan atau kasih sayang
(CNKK)

Kamis, 29 April 2010

Allah Merasa Heran

Negeri kami sedang dirundung duka
Bangsa kami sedang terus menerus ditimpa bencana
Tanah air kami sedang bergelimang malapetaka

Ya Alloh,
Yang bisa dibangun dengan kebencian hanyalah kehancuran
Bukan kesejahteraan
Yang bisa dibangun dengan dendam hanyalah kerusuhan
Bukan kebenaran
Yang bisa dibangun dengan prasangka hanyalah kekacauan
Bukan keadilan
Yang bisa dibangun dengan kekejaman adalah kekisruhan
Bukan kedamaian

Yang bisa dibangun dengan kekerasan hanyalah kemusnahan
Bukan kesatuan
(CNKK)

Selasa, 27 April 2010

Tak Sudah-Sudah

Ketika belum, kepingin sudah.
Ketika sudah kepingin tambah.
Sesudah ditambahi kepingin lagi.
Kepingin lagi, lagi, lagi dan lagi

Kita berlari memperbudak diri
Tuhan mengajarkan yang pas-pasan saja
Tapi kita tak pernah rasa
Karena kekurangan pinginnya berlebihan.

Rasa kekurangan tak berpenghabisan
Kepada dunia tak pernah kenyang
Itulah api yang menghanguskan
Itulah nafsu lambang kebodohan

Hanya pada Tuhan kita saling kurang
Hati belingsatan kangen tak karuan
Kepada cintaMu aku kelaparan
Berapapun ongkosnya kubayar sukarela

Sesudah sudah kok belum saja
Kok terus saja, kok terus saja
(CNKK)

Minggu, 25 April 2010

Nasehat Kyai Kepada Santri-santrinya

“Aku akan segera bergabung ke masa silam alias akan dipanggil oleh tuhan”, kata seorang kyai pada suatu sore kepada santri-santrinya.
“Aku akan segera berlalu. Masaku akan segera dikuburkan. Kamu sekalian para santri sekarang mulai menapaki masa peralihan. Dan anak-anakmu akan menjadi penghuni dari jaman baru yang dahsyat dan mengagumkan , sesudah orde baru sekarang.”
“Sami’na wa atho’na”, kata para santri dengan penuh ta’dzim.
“Hamba mohon pak kyai, pancarkanlah cahaya yang menerangi cakrawala yang hamba tuju.”
Sang kyai terkekeh-kekeh, “Bahasa dan perilakumu yang seperti itu adalah bahasa generasiku. Sehingga besok akan terkubur bersamaku. Sedangkan bahasamu yang bisa dikenal oleh masyarakat adalah bahasa seks, bahasa ekstasi dan bahasa-bahasa yang makin tidak mengenal sopan-santun. Kini berlatihlah untuk meninggalkan upacara dan detil sopan santun yang bertele-tele semacam itu. Kemudian mulailah suatu cara hidup yang praktis, yang pragmatis, yang etis, efektif dan efisien.”
“Kemudian, karena engkau adalah bapak dari anak-anakmu kelak. Dan cara hidup baru, itulah modal utama yang engkau ajarkan kepada anak-anakmu, agar mereka sanggup berlari seiring dengan perkembangan jaman yang mereka jalani.”
“Jalan hidupku yang bertele-tele jangan engkau warisi dan engkau wariskan kepada generasi di bawahmu, agar mereka tidak digilas oleh buldozer sebuah makhluk baru yang esok lusa akan segera lahir semakin banyak lagi.”
Si santri bertanya: “Apa nama makhluk baru itu, Kyai?”
Sang Kyai menjawab: “al-konglomerat..”
“Makhluk apa itu gerangan, pak kyai?”
“Al-konglomeratu kabirun jiddan. Tubuhnya sangat besar. Salah satu kakinya di pantai kapuk Jakarta, kaki lainnya berada di gunung sebelah selatan Surakarta.”
“Pak kyai, pasti itu semacam Gatotkaca yang berotot kawat bertulang besi?”
“Bukan anakku, otot mereka bukan kawat dan balung mereka bukan besi. Otot mereka adalah jalan-jalan tol. Tulang mereka cor-cor besi gedung-gedung pencakar langit.”
“Jadi kalau begitu mereka sangat kuat ya kyai..”
“Sangat-sangat kuat. Maka katakan kepada saudara-saudaramu dan anak-anakmu jangan sekali-kali berusaha melawan mereka kalau belum sungguh-sungguh menghitung kekuatanmu sendiri.”
“Pak kyai, persisnya seberapa kuat makhluk yang bernama konglomerat itu?”
“Sampai tak terbayangkan karena ia sanggup mengalahkan dengan mudah semua pendekar-pendekar ulung, apalagi sekedar bernama gubernur atau menteri. Kalau sekedar bupati atau yang setingkat hanya dijadikan slilit-slilit kecil di sela-sela giginya. Bahkan ada pimpinan-pimpina di daerah seperti itu yang memaksakan sebuah proyek harus segera dilaksanakan, karena dia segera dipindahkan dari jabatannya, dan harus mendapatkan bonus dari proyek yang dipaksakan itu.”
“Ajaib, ya kyai..”
“Ajaib. Kalau konglomerat meludah, setetes air liurnya bisa menjadi 10 ton supermi. Kalau dia bersin, riaknya menjadi milyaran virus-virus.”
“Kalau batuk, jadi apa kyai?”
“Kalau batuk, jadi mall, supermarket dan plaza-plaza.”
“Luar biasa kalau begitu kyai. Makanan mereka itu apa sehari-hari?”
“Makanan mereka adalah sejenis jajan yang bernama rakyat kecil.”
“Kalau demikian…”, kata si santri, “…akan kuajarkan kepada anak-anakku ilmu binatang.”
“Lho? Apa maksudmu dengan ilmu binatang?”, bertanya pak kyai
“Ilmu keserakahan, kyai. “
“Darimana kamu memperoleh ilmu yang menyadarkan kalau keserakahan adalah milik binatang?”
“Lho, pak kyai gimana..sudah menjadi pengetahuan sepanjang jaman bahwa yang dimaksud kebinatangan adalah kerakusan, kekejian, dan kebiadaban.”
Sang kyai terkekeh-kekeh, terbahak-bahak. “Kyai mana yang ilmunya sesat seperti itu. Tidak ada di dunia ini binatang yang rakus itu tidak ada. Binatang itu selalu berhenti makan kalau sudah kenyang. Tidak ada binatang sudah kenyang terus makan. Manusialah yang terus makan meskipun sudah kenyang. Manusialah yang tidak pernah merasa cukup meskipun sudah memiliki ribuan perusahaan. Manusialah, dan bukan binatang yang tetap merasa kurang meskipun di tangannya sudah tergenggam seratus pulau. Meskipun sahamnya telah berekspansi sampai ke hutan-hutan dan ke dasar-dasar lautan, maupun gunung-gunung di sebelah wetan.”
“Manusialah…”, kata pak kyai, “…yang meskipun telah dia kuasai harta yang bisa dipakai untuk membeli sepuluh kota besar, berpendapat bahwa yang ia jalani adalah pola hidup sederhana.”
“Kalau sepuluh ekor semur bergotong royong mengangkut sejumput gula, mereka tidak akan menoleh meskipun di sekitarnya tergeletak sejumput gula yang lain. Tapi kalau manusia, manusialah yang selalu hanya sibuk mengisi ususnya dengan penguasaan industri makanan dan kosmetik, industri otomotif, properti bahkan industri manipulasi asas-asas pancasila dan kitab suci .”
(Mbah MAN)

Rabu, 21 April 2010

Sebenarnya Cinta

Junaid ra berkata, “Sewaktu aku tidur di rumah Sari as-Saqothi, ia membangunkanku dan berkata,

“Wahai Junaid, aku melihat diriku seakan-akan berada di hadapan Alloh, kemudian Alloh berkata kepadaku, ‘Wahai Sari, ketika aku menciptakan makhluk-makhluk-Ku, mereka semua mengaku cinta kepada-Ku. Ketika aku lalu menciptakan dunia, 9/10 dari mereka lari meninggalkan-Ku, hanya tinggal 1/10 bersama-Ku. Ketika aku menciptakan surga, 9/10 dari 1/10 tadi lari meninggalkan-Ku dan hanya tinggal 1/10 dari 1/10 yang tadi bersama-Ku. Aku lalu menciptakan neraka, 9/10 dari 1/10-nya 1/10 tadi lari meninggalkan-Ku. Aku lalu menguji mereka dengan bencana sekecil atom, maka 9/10 dari 1/10-nya 1/10-nya 1/10 tadi lari meninggalkan-Ku.

Aku lalu berkata pada yang tinggal bersama-Ku, ‘Kalian tidak menginginkan dunia, tidak mengharapkan surga, tidak lari dari neraka, dan tidak menghindar dari bencana. Lalu apa yang kalian inginkan?

‘Engkau lebih mengetahui apa yang kami inginkan’, jawab mereka.

‘Aku akan memberi kalian bencana sebanyak napas kalian; bencana yang gunung kokoh sekali pun tak sanggup menanggungnya, apakah kalian akan bersabar?’

‘Jika Kau yang menurunkan bencana itu, kami siap menerimanya.’

‘Kalian adalah hamba-hamba-Ku yang sejati. Kalian adalah pecinta-Ku yang sidq. Aku akan beri kalian dunia dan surga. Aku akan menyingkirkan segala bencana dari kalian.’

Karunia tadi diberikan Alloh setelah mereka lulus dari ujian.

(Cinta, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi)

Menunggu atau Menyongsong Cahaya

Belajar itu jangankan kepada firman-firman, jangankan kepada agama yang macam-macam. Dari maling kita bisa belajar. Dari “tlethong” sapi kita bisa belajar. Dari yang terburuk di kehidupan ini bisa belajar.

Pada pelacur kita juga bisa belajar, bagaimana dia bisa menerima tujuh orang tamu pada suatu malam, selesai jam tiga malam dia langsung mandi jinabat, sholat tahajjud.

Itu suatu radikalitas kejiwaan yang luar biasa.

Sebab hidup ini adalah malam hari. Sehingga pekerjaan manusia hanya satu di tengah malam yang gelap gulita. Pekerjaan kita hanyalah mencari cahaya dari hari ke hari.
Engkau tidak tahu besok pagi akan mengalami apa, tidak tahu tanggal berapa akan meninggal. Kita tidak tahu akan punya anak berapa, yang jadi dan tidak jadi.

Cahaya adalah jembatan dari tidak tahu menjadi tahu. Cahaya adalah jarak dari sedih menjadi gembira. Dari belum menjadi sudah, dari gagal menjadi sukses. Dari sakit menjadi sembuh.

Tapi cahaya itu ada dua macam. Cahaya yang menerangi dan cahaya yang menyesatkan.
Kalau cahaya terlalu menyilaukanmu, kamu akan kehilangan disiplin jarak, kalau dalam ilmu disebut kehilangan ontologi. Kalau kamu ingin melihat tangan kamu sendiri, kamu tidak bisa melihat tangan kamu sendiri terlalu dekat, kamu harus punya disiplin jarak. Sehingga jarak tertentu, tangan kamu kelihatan secara tepat.
(Manusia Sunyi, Cak Nun)

Minggu, 18 April 2010

Puisi-puisi Gus Mus

Bagimu

Bagimu kutancapkan kening kebangganku pada rendah tanah
Telah kuamankan sedapat mungkin imanku
Kuselamat-selamatkan islamku
Kini dengan segala milikmu ini
Ku serahkan kepadamu, Alloh
Terimalah

Kepala bergengsi yang terhormat ini
Dengan kedua mata yang mampu menangkap gerak-gerik dunia
Kedua telinga yang dapat menyadap kersik-kersik berita
Hidung yang bisa mencium wangi parfum hingga borok manusia
Mulut yang sanggup menyulap kebohongan menjadi kebenaran
Seperti yang lain
Hanyalah seper sekian percik tetes anugerahmu
Alangkah amat mudahnya Engkau melumatnya, Alloh
Sekali engkau lumat terbanglah cerdikku
Terbanglah gengsiku
Terbanglah kehormatanku
Terbanglah kegagahanku
Terbanglah kebanggaanku
Terbanglah mimpiku
Terbanglah hidupku
Alloh
Jika terbang, terbanglah
Sekarang pun aku pasrah
Asal menuju haribaan rahmatmu

Di Arafah


Terlentang aku seenaknya dalam pelukan bukit-bukit batu bertenda langit biru
Seorang anak, entah berkebangsaan apa mengikuti arah mataku
Dan dalam isyarat bertanya-tanya
Kapan Tuhan turun?
Aku tersenyum
Setan mengira dapat mengendarai matahari
Mengusik khusukku
Apa tak melihat ratusan ribu hati yang putih menggetarkan bibir, melepas dzikir
Menjagaku jutaan milyar malaikat menyiramkan berkat
Kulihat diriku terapung-apung dalam nikmat
Dan sang anak, entah berkebangsaan apa
Seperti melihat arak-arakan karnaval
Menari-nari dengan riangnya
Terlentang aku, satu di antara tumpukan debu dosa
Yang mencoba menindih
Akankah kiranya bertahan dari banjir airmata penyesalan missal ini
Gunung-gunung batu, menirukan tasbih kami
Pasir-pasir menghitung wirid kami
Dan si anak, yang aku tak tahu berkebangsaan apa tertidur di pangkuanku
Pulas sekali

Arafah, 1415

Di Pelataran Agung Mu nan Lapang


Di pelataran agungmu nan lapang
Kawanan burung merpati
sesekali sempat memunguti butir-butir bebijian yang kau tebarkan
Lalu terbang lagi menggores-gores biru langit
Melukis puja puji yang hening

Di pelataran agungmu nan lapang
Aku setitik noda
Setahi burung merpati menempel pada pekat gumpalan
Yang menyeret warna bias kelabu perputaran
Mengabur, melaju
Luluh dalam gemuruh talbiyah, takbir dan tahmid
Di kejar dosa-dosa dalam kerumunan dosa
Ada sebaris do’a
Siap kuucapkan
Lepas terhanyut airmata
Tersangkut di qiswah nan hitam
Di pelataran agungmu nan lapang
Aku titik-titik tahi merpati
Menggumpal dalam titik noda
Berputaran, mengabur, melaju
Luluh dalam gemuruh talbiyah, takbir dan tahmid
Mengejar ampunan dalam lautan ampunan
Terpelating, dalam khouf dan roja’

Kaum Beragama Negeri Ini

Tuhan, lihatlah betapa baik kaum beragama negeri ini
Mereka tidak mau kalah dengan kaum beragama lain di negeri-negeri lain
Demi mendapatkan ridho Mu mereka rela mengorbankan saudara-saudara mereka
Untuk merebut tempat terdekat di sisi Mu
Mereka bahkan tega menyodok dan menikam hamba-hamba Mu sendiri
Demi memperoleh rahmat Mu
Mereka memaafkan kesalahan dan mendiamkan kemungkaran
Bahkan mendukung kelaliman
Untuk membuktikan keluhuran budi mereka
Terhadap setan pun mereka tak pernah berburuk sangka

Tuhan, lihatlah betapa baik kaum beragama negeri ini
Mereka terus membuatkan Mu rumah-rumah mewah
Di antara gedung-gedung kota
Hingga di tengah-tengah sawah
Dengan kubah-kubah megah
Dan menara-menara menjulang untuk meneriakkan nama Mu
Menambah segan dan keder hamba-hamba kecil Mu
Yang ingin sowan kepada Mu
Nama Mu mereka nyanyikan dalam acara hiburan hingga pesta agung kenegaraan
Mereka merasa begitu dekat dengan Mu
Hingga masing-masing merasa berhak mewakili Mu
Yang memiliki kelebihan harta membuktikan kedekatannya
Dengan harta yang Engkau berikan
Yang memiliki kelebihan kekuasaan membuktikan kedekatannya
Dengan kekuasaan yang Engkau limpahkan
Yang memiliki kelebihan ilmu membuktikan kedekatannya
Dengan ilmu yang Engkau kurniakan
Mereka yang Engkau anugerahi kekuatan seringkali merasa engkau sendiri
Mereka bukan saja ikut menentukan ibadah
Tapi juga menetapkan siapa ke surga siapa ke neraka
Mereka sakralkan pendapat mereka
Dan mereka akbarkan semua yang mereka lakukan
Hingga takbir dan ikrar mereka yang kosong
Bagai perut bedug
Allohu akbar walillahil hamd

La Ilaha Illa Alloh


Syahadat
Inilah kesaksianku
Inilah pernyataanku, inilah ikrarku
Laa Ilaha Illa Alloh
Tak ada yang boleh memperhambaku kecuali Alloh
Tapi nafsu terus memperhambaku
Laa Ilaha Illa Alloh
Tak ada yang boleh menguasaiku kecuali Alloh
Tapi kekuasaan terus menguasaiku
Laa Ilaha Illa Alloh
Tak ada yang boleh menjajahku kecuali Alloh
Tapi materi terus menjajahku
Laa Ilaha Illa Alloh
Tak ada yang boleh mengaturku kecuali Alloh
Tapi benda mati terus mengaturku
Laa Ilaha Illa Alloh
Tak ada yang boleh memaksaku kecuali Alloh
Tapi syahwat terus memaksaku
Laa Ilaha Illa Alloh
Tak ada yang boleh mengancamku kecuali Alloh
Tapi rasa takut terus mengancamku
Laa Ilaha Illa Alloh
Tak ada yang boleh merekayasaku kecuali Alloh
Tapi kepentingan terus merekayasaku
Laa Ilaha Illa Alloh
Hanya kepada Alloh aku mengharap
Tapi kepada siapa pun_Masya Alloh_aku mengharap
Laa Ilaha Illa Alloh
Hanya kepada Alloh aku memohon
Tapi kepada siapa pun_Masya Alloh_aku terus memohon
Laa Ilaha Illa Alloh
Hanya kepada Alloh aku bersimpuh
Tapi kepada apa pun_Masya Alloh_aku terus bersimpuh
Laa Ilaha Illa Alloh
Hanya kepada Alloh aku bersujud
Tapi kepada apapun aku terus bersujud
Laa Ilaha Illa Alloh
Masya Alloh

Sholawat


Ya Rasulalloh sholawat dan salam bagi paduka
Dari kedua mataku yang menggenang airmata dan darah
Serasa kulihat manik-manik mutiara berkilauan di kedua mata paduka yang indah
Paduka pasti terluka memandang kelakuan kami
Paduka pasti berduka
Oh Rasulalloh oh kekasih
Ampun, bukan kami hendak mempermalukan paduka
Tapi kami tak sekuat paduka
Dunia telah menguasai diri kami
Padahal paduka telah berulang kali mengingatkan
Kami terlalu memanjakan daging-daging
Dan mengabaikan sukma-sukma kami
Kami terlalu sibuk membela kepentingan diri sendiri
Berebut materi sambil meneriakkan nama paduka
Maka kami pun tak bisa mendengar suara paduka yang merdu menghimbau penuh kasih sayang
Mengajak saling menyayang

Ya Rasulalloh sholawat dan salam bagi paduka
Mereka yang tak mau mendengar paduka
Tak percaya pada keabadian hakiki yang paduka tunjukkan
Telah mengejar kebahagiaan semu mereka sendiri
Dan mereka harus membuktikan kekeliruan mereka dalam kepahitan azab penderitaan
Oh, alangkah malang
Oh, alangkah sayang
Tak ada kebahagiaan pada daging yang dimanjakan
Tak ada kebahagiaan pada kepentingan sesaat
Tak ada kebahagiaan pada kepentingan sendiri yang dimenangkan
Tak ada kebahagiaan pada kenikmatan singkat
Tak ada kebahagiaan pada api yang membakar
Tak ada kebahagiaan pada darah yang tertumpah
Tak ada kebahagiaan pada dendam yang diumbar
Tak ada kebahagiaan pada kobaran amarah
Tak ada kebahagiaan pada puing-puing berasap
Tak ada kebahagiaan pada tangis dan ratap
Tak ada kebahagiaan pada kebahagiaan yang telah paduka tunjukkan
Oh Rasulalloh, oh kekasih
Kami terlalu mencintai diri kami
Hingga mencelakakannya
Ternyata paduka lebih mencintai diri kami
Ya Rasulalloh sholawat dan salam bagimu selalu

Ya Rasulalloh


Aku ingin seperti santri berbaju putih yang tiba-tiba datang menghadapmu
Duduk menyentuhkan dua lututnya pada lutut agungmu
Dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas paha-paha mulyamu
Lalu aku akan bertanya:
Ya Rasulalloh tentang islamku, Ya Rasulalloh tentang imanku, Ya Rasulalloh tentang ihsanku
Ya Rasulalloh mulut dan hatiku bersaksi tiada tuhan selain Alloh
Dan engkau Ya Rasulalloh utusan Alloh
Tapi kusembah juga diriku
Astaghfirulloh
Dan risalahmu hanya kubaca bagai sejarah Ya Rasulalloh
Setiap saat jasadku sholat
Setiap kali tubuhku bersimpuh
Diriku jua yang kuingat
Setiap saat kubaca sholawat
Setiap kali tak lupa kubaca salam
Assalamu’alaika ayyuhannabiyyu warohmatullohi wa barokatuh
Salam kepadamu wahai nabi juga berkat dan rahmat Alloh
Tapi tak pernah kusadari apakah di hadapanku kau menjawab salamku
Bahkan apakah aku menyalamimu
Ya Rasulalloh ragaku berpuasa dan jiwaku kulepas bagai kuda
Ya rasulalloh sekali-kali kubayar zakat dengan niat dapat balasan kontan dan berlipat
Ya Rasulalloh aku pernah naik haji sambil menaikkan gengsi
Ya Rasulalloh sudah islamkah aku
Ya Rasulalloh aku percaya Alloh dan sifat-sifat Nya
Aku percaya malaikat dan percaya kitab-kitab suci Nya
Percaya nabi-nabi utusannya
Aku percaya akhirat, percaya qodho’ qodar Nya seperti yang kucatat dan kuhafal dari ustadz
Tapi aku tak tahu seberapa besar itu mempengaruhi lakuku
Ya Rasulalloh sudah imankah aku?
Ya Rasulalloh setiap kudengar panggilan aku menghadap Alloh
Tapi apakah ia menjumpaiku
Sedang wajah dan hatiku tak menentu
Ya Rasulalloh dapatku aku berihsan?
Ya Rasulalloh aku ingin menatap walau sekejab
Wajahmu yang elok mengerlap
Setelah sekian lama mataku hanya menangkap gelap
Ya Rasulalloh aku ingin mereguk senyummu yang segar
Setelah dahaga di padang kehidupan yang hambar
Hampir membuatku terkapar
Ya Rasulalloh meski secercah, teteskan padaku cahayamu
Buat bekalku sekali lagi
Menghampiri Nya

Jumat, 16 April 2010

Du'a

Aku tahu betapa bahayanya memantas-mantaskan diri, aku sadar ini harus kutempatkan pada kadar yang sewajar-wajarnya. Dan tak terkikis sedikitpun keyakinanku bahwa bagi orang-orang yang sabarlah anugerah yang lebih baik itu akan diberikan.
Perintah-Mu lah untuk menjadikan sabar dan sholat sebagai penolongku. Maka kuikuti perintah-Mu itu. Sehingga janji di balik perintah-Mu merupakan peng-kabulan atas permohonanku atas bantuan-Mu. Anugerah itu, dekatkanlah. Jadikan ia begitu istimewa, sebagaimana jawaban air pada yang sedang dahaga, sebagaimana rimbun dahan sebagai penyejuk terik mentari. Maka, ia-lah anugerah itu, penyejuk mata dan hatiku. Jadikanlah ia, terbaik bagiku dan keluargaku, tentunya dalam pandangan-Mu. Karena pandangan makhluk adalah samar dan pandangan-Mu lah yang nyata. Kabulkanlah permintaan hati hamba..
(13 Maret 2010, 21:27)

Minggu, 28 Februari 2010

Tentang hati

Karena Alloh itu di antara seseorang dengan hatinya,
Dan tak seorangpun yang selamat pada hari kiamat kecuali orang yang menghadap Alloh dengan hati yang bersih,
Dan karena kecelakaan itu diperuntukkan bagi orang yang hatinya sulit untuk menyebut asma Alloh,
Dan sesungguhnya janji surga itu diperuntukkan bagi orang yang takut kepada Alloh serta datang dengan pasrah,
Maka setiap muslim harus dapat merasakan detak hatinya, mengetahui tempat persembunyian penyakit dan sebab munculnya penyakit itu.
Lalu ia sesegera mungkin mengatasi dan mencari obat agar penyakit hati itu tidak cepat menjalar kemana-mana, yang akhirnya ia akan binasa.

(Syekh Shalih Al-Munajid dalam Zhohiratu Dhu’fil Iman)

Sabtu, 20 Februari 2010

awal yang baik

Doa akan tetap menjagamu agar tetap tegar,
Cinta akan mengajarkanmu arti kehidupan,
Sahabat akan membuatmu mengerti arti kesetiaan,
Senyum akan membuatmu lebih baik,
Maka tersenyumlah meski hanya 8 detik

Kesenangan adalah kesedihan yang terbuka bungkusnya;
Tawa dan airmata datang dari sumber yang sama;
Semakin dalam kesedihan menggoreskan luka ke dalam jiwa semakin mampu sang jiwa menampung kebahagiaan.